Traveljunkieindonesia.com – Kali ini kami akan membawa Anda ke Pulau Haruku, pulau kecil di wilayah Maluku. Haruku hanya berjarak sekitar 15 menit dengan speedboat bertolak dari Tulehu. Sepanjang perjalanan dari pusat kota Ambon menuju Tulehu, Anda akan melewati kontur jalan yang cukup bervariasi mulai dari jalan yang lurus hingga berkelok-kelok namun tetap menawan dengan pemandangan laut dan pantai di salah satu sisi jalan. Kelengangan jalan akan membuat Anda betah berlama-lama menikmati suguhan alam yang menyejukkan mata. Semakin mendekati pelabuhan Tulehu, warna air laut di pantai sepanjang jalan yang terlihat oleh mata kian cantik, biru yang membius. Bahkan saya sendiri kala itu sempat berkali-kali menjepretkan kamera untuk memvisualisasikan keindahannya dan berencana membawanya pulang untuk oleh-oleh. Sudah terbayang di benak saya bagaimana reaksi kerabat saya ketika mereka melihat biru eksotiknya pantai di Ambon. Mereka pasti meringis iri dan sekaligus takjub.
Speedboat dengan tujuan Pulau Haruku dilayani sekitar 2-3 kali dalam sehari tergantung jumlah penumpang. Ukuran speedboat pun bervariasi, ada yang hanya mampu memuat maksimal 6 penumpang, namun juga ada yang mampu membawa sekitar 12 penumpang beserta bawaan mereka. Untuk satu orang, Anda cukup merogoh saku 10 – 20 ribu rupiah tergantung negeri mana yang Anda tuju di Pulau Haruku. Negeri sebenarnya adalah sebutan lokal untuk kampung. Di Haruku sendiri, terdapat sembilan negeri, dan seperti kebanyakan perkampungan Ambon yang terpisah antara kampung muslim dan kristian, hal serupa juga berlaku di Haruku. Uniknya, speedboat menuju tiap negeri pun juga berbeda, jadi ketika Anda di Tulehu dan hendak menuju kampung yang ada di pulau-pulau kecil sekitar, jangan sampai salah menumpang speedboat jika tidak ingin terpaksa bermalam di suatu tempat yang bukan tujuan kita sebab biasanya speedboat yang melayani arah balik dari pulau kecil menuju Ambon hanya tersedia hingga jam 12 siang.
Kali ini, Saya berencana untuk mengunjungi Negeri Oma di Pulau Haruku. Sebenarnya sejak awal saya berniat untuk berkunjung ke Pulau Saparua, namun karena kendala waktu dan tidak adanya teman jalan, akhirnya saya memutuskan untuk berbelok arah ke Pulau Haruku, kampung halaman teman jalan saya waktu itu. Setelah menunggu hampir dua jam, akhirnya speedboat yang sudah penuh penumpang melaju membelah lautan. Cukup nyaman perjalanan yang saya dapatkan dan laut terbilang tenang pada bulan Desember di wilayah perairan Ambon sehingga goyangan kapal tidak membuat perut terkocok. Sepanjang perjalanan saya terpesona melihat salah satu sisi Pulau Haruku berupa karang kokoh dengan air laut jernih dan transparan. Sudah ingin menceburkan diri ke laut, namun saya harus menahan gairah itu mengingat kapal yang saya tumpangi juga membawa penumpang lain yang tentunya tidak mau menunggu saya untuk sekedar berhenti di tengah jalan dan bermain di laut.
Setelah hampir 15 menit bertolak dari Tulehu, sebuah perkampungan yang berada persis di pinggir laut, Negeri Oma, menyapa kami. Perahu-perahu kayu kecil yang digerakkan dengan dayung terlihat berjejer memenuhi garis sepanjang pantai negeri tersebut dan menjadi pemandangan menarik khas wilayah pesisir. Dari pantai Anda akan memasuki wilayah perkampungan yang terbilang bersih dan tertata. Ketenangan akan langsung menyergap Anda ketika tiba Oma dan sangat berbeda dengan apa yang biasa Anda temui di daerah padat perkotaan. Alih-alih suara bising kendaraan bermotor, disini suara debur ombak menjadi satu-satunya hal yang akan memenuhi indera pendengaran Anda. Suara televisi juga tidak akan mengganggu Anda sebab meskipun di Oma sudah tersedia listrik, namun mayoritas penduduk lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan bercengkerama bersama tetangga dan kerabat mereka ketimbang duduk termangu di depan televisi.
Masyarakat Negeri Oma juga masih mempertahankan salah satu tradisi ekonomi lokal hingga sekarang yakni mengolah cengkeh secara tradisional untuk kemudian dijual di Ambon. Jadi jangan heran ketika langkah Anda terhalangi oleh hamparan buah cengkeh yang dijemur di beberapa sisi jalan.
Hingga kini, saya masih belum menemukan jawaban asal-usul pemberian nama Oma untuk kampung tersebut, bisa jadi karena mayoritas penduduknya adalah perempuan berusia tua yang para suami dan kerabatnya merantau dan bekerja di daerah lain. Terlepas dari keingintahuan itu, Negeri Oma memikat saya dengan keasliannya serta ketenangan dan keramahan para penduduknya. Di tempat seperti inilah saya menemukan keaslian masyarakat dan budaya Indonesia. (Karlina Diah Indriasari)
Happy Green Travels!
Follow Travel Junkie Indonesia on Twitter @TravelJunkieID
Travel Junkie Indonesia Magazine Post | Vol 1, Maluku Issue.